Sang Penyampai Wahyu Shallallahu Alaihi Wa Sallam Yang Terjaga Dari Kesalahan
SANG PENYAMPAI WAHYU SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM YANG TERJAGA DARI KESALAHAN
Oleh
Ustadz Abu Minhal, Lc.
Allâh Azza wa Jalla menjatuhkan pilihan pada Muhammad bin ‘Abdillâh sebagai utusan-Nya yang terakhir bagi sekalian makhluk-Nya. Tugas penting dan amanat mulia yang beliau emban adalah balâgh (menyampaikan) risalah dari Allâh Azza wa Jalla kepada umat manusia, membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka dan mengajari mereka al-Hikmah (Sunnah), serta menerangkan maksud dan kandungan Kitab-Nya.
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Allâh Jalla tsanâ`uhu wa taqaddasat asmâ`uhu, telah mengutus Muhammad Nabi-Nya dengan membawa hidayah dan agama yang benar untuk menampakkannya di atas seluruh ideologi lainnya, meskipun orang-orang musyrikin tidak menyukainya. Dia Azza wa Jalla telah menurunkan kepadanya Kitab-Nya yang menjadi petunjuk dan cahaya bagi orang-orang yang mengikutinya. Dan Dia Azza wa Jalla menjadikan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai insan yang menunjukkan pengertian yang dikehendaki oleh Allâh Azza wa Jalla , berupa makna yang zhahir, batin, khâshsh, ‘âmm, nâsikh dan mansûkhnya serta apa saja yang dimaksudnya oleh Kitab-Nya.
Maka, beliau menjadi pengungkap maksud Kitâbullâh, penunjuk akan makna-maknanya, sedang para Sahabat, insan-insan yang Allâh Azza wa Jalla ridhai dan dipilih sebagai pendamping bagi Nabi-Nya, menyaksikan itu semua. Kemudian mereka menyampaikannya dari beliau. Untuk itu, mereka menjadi pihak yang paling tahu tentang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan riwayat yang beliau sampaikan tentang makna yang dikehendaki Allâh Azza wa Jalla , melalui apa yang meraka saksikan langsung terhadap yang dimaksud Kitabullah. Selanjutnya, mereka pun menjadi generasi yang menerangkannya sepeninggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[1]
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengatakan sesuatu atas dasar pendapat pribadinya dalam perkara yang terkait kapasitasnya sebagai penyampai risalah Allâh Azza wa Jalla . Itulah hakekat status beliau sebagai utusan Allâh Azza wa Jalla , bertolak dari makna rasul ( الرَّسُوْلُ ) yang berarti utusan yang bertugas hanya menyampaikan apa yang menjadi amanat dari Dzat yang mengutusnya, Allâh Azza wa Jalla Rabbul ‘âlamin.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا ۖ إِنْ عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah). [asy-Syûrâ/42:48].
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنْ أَنْتَ إِلَّا نَذِيرٌ
Kamu tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan. [Fâthir/35:23].
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ ۖ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا ۚ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
Katakanlah, “Taat kepada Allâh dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allâh) dengan terang.” [an-Nûr/24:54].
Beban yang menjadi tanggungan seorang rasul ialah at-tablîgh (menyampaikan) dan menjalankan amanat, sementara kewajiban umat manusia ialah taat kepadanya dan menjalankan perintahnya. [2]
Perintah, dan larangan yang beliau sampaikan tiada lain merupakan perintah dan larangan Allâh Azza wa Jalla. Berita-berita dan kisah-kisah yang beliau kemukakan sebagai bentuk tabligh atas kisah-kisah dan berita-berita yang dikabarkan Allâh Azza wa Jalla kepadanya. Karena itulah, taat kepada beliau berarti taat kepada Allâh Azza wa Jalla , pelanggaran terhadap beliau berarti melanggar aturan Allâh Azza wa Jalla , dan mendustakan berita dari beliau sama saja dengan mendustakan berita dari Allâh Azza wa Jalla bahwa beliau adalah utusan-Nya[3] .
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴿٧٩﴾مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“…Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allâh menjadi saksi. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allâh. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka”. [an-Nisâ`/4:79-80].
Cukuplah ayat berikut ini sebagai penegas bahwa syariat yang beliau sampaikan bersumber dari Allâh Azza wa Jalla :
وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَيْنَا بَعْضَ الْأَقَاوِيلِ ﴿٤٤﴾ لَأَخَذْنَا مِنْهُ بِالْيَمِينِ ﴿٤٥﴾ ثُمَّ لَقَطَعْنَا مِنْهُ الْوَتِينَ ﴿٤٦﴾ فَمَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حَاجِزِينَ
“Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami. Niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.”.[al-Hâqqah/69 :44-47].
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak akan mendukung orang yang mengadakan kebohongan atas nama-Nya, akan tetapi pasti akan menampakkan kedustaannya dan menyiksanya. Seandainya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk manusia jenis ini, yang mengadakan kedustaan atas nama Allâh Azza wa Jalla , sebagaimana tuduhan yang dilancarkan oleh kaum kafirin yang telah Allâh beritahukan dalam firman-Nya
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا ۖ فَإِنْ يَشَإِ اللَّهُ يَخْتِمْ عَلَىٰ قَلْبِكَ ۗ وَيَمْحُ اللَّهُ الْبَاطِلَ وَيُحِقُّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ ۚ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Bahkan mereka mengatakan: ” Dia (Muhammad) telah mengada-adakan dusta terhadap Allâh .” Maka jika Allâh menghendaki niscaya Dia mengunci mati hatimu; dan Allâh menghapuskan yang batil dan membenarkan yang hak dengan kalimat-kalimat-Nya (al-Qur`an). Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati” [Syûrâ/42:24]
Dan beliau sudah pasti bersih dari tuduhan tersebut – pastilah Allâh Azza wa Jalla akan menimpakan pada beliau hukuman-Nya yang tertera pada ayat-ayat tersebut di atas. Karena tidak terjadi apa yang diancamkan Allâh Azza wa Jalla dalam ayat-ayat tersebut pada diri Rasûlullâh Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berarti dalam menyampaikan ajaran Allâh Azza wa Jalla , beliau tidak berbicara sembarangan, juga tidak berbicara sesuai dengan keinginan dan pendapat pribadinya. Akan tetapi, mengikuti kebenaran dan petunjuk yang Allâh wahyukan kepada beliau. Dan Allâh Azza wa Jalla pun telah mengungkap hakekat ini dalam firman-Nya:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ ﴿٣﴾ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur`ân) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) “ [an-Najm/53:3-4]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan, “Seandainya dia (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) adalah orang yang mengadakan kebohongan atas nama Kami, sebagaimana tuduhan mereka (kaum musyrikin), dengan menambah atau mengurangi ajaran-Nya, atau mengatakan sesuatu dari dirinya sendiri lalu ia nisbatkan kepada Kami, padahal itu bukan dari Kami, pastilah Kami akan menyegerakan siksaan pada dirinya”[4].
“Ayat ini menyatakan tentang terjaganya lisan beliau dari segala hawa nafsu dan tujuan (yang salah). Beliau tidaklah berbicara kecuali dengan apa yang diwahyukan kepada beliau dari Rabbnya, Allâh Azza wa Jalla . Tidak mengatakan kecuali apa yang diperintahkan kepadanya dan kemudian menyampaikannya kepada khalayak manusia dengan sempurna, utuh tanpa pengurangan maupun penambahan”[5].
Dengan demikian, beliau itu orang yang jujur, berbudi lagi lurus. Sebab, Allâh Azza wa Jalla membenarkan apa yang beliau sampaikan dan mendukung beliau dengan mukjizat-mukjizat yang besar dan bukti-bukti yang pasti [6].
Maka, menjadi kewajiban umat manusia untuk beriman kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengagungkan beliau sesuai dengan cara yang syar’i, mempercayai kebenaran sabda-sabda beliau, mengamalkan semua ajaran beliau, dan mengikuti seluruh petunjuk beliau. Hidayah akan direngkuh orang-orang yang mengikuti beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي وَيُمِيتُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allâh kepadamu semua, yaitu Allâh Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allâh dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allâh dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk.” [al-A’raf/7:158].
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا
Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk [an-Nûr/24:54].
Selain itu, kewajiban yang lain, menjadikan beliau sebagai insan yang wajib ditaati secara mutlak, karena beliau adalah manusia yang dipercaya Allâh Azza wa Jalla untuk menerangkan wahyu-wahyu-Nya yang berisi kebaikan bagi sekalian alam. Dan tak lupa, menyebarluaskan ajaran beliau serta membela beliau dan ajaran beliau dari pihak-pihak yang berusaha merendahkan derajat beliau, merongrong kebenaran ajaran Islam dan menentangnya, baik dari kalangan luar Islam maupun dari orang-orang yang mengaku Islam.
Dengan demikian, alangkah keliru, orang yang kurang perhatian untuk mendalami petunjuk-petunjuk beliau, tidak mengamalkannya, mengabaikannya, maupun mencari petunjuk dari yang lain. Dan lebih parah dari itu, orang yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (kelompok para pengingkar Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ), dan hanya merasa sudah cukup dengan petunjuk ayat-ayat al-Qur`ân dengan dalih beliau manusia biasa yang dapat mengalami kekeliruan, kesalahan, atau dilanda emosi, sedang gembira dan perasaan-perasaan manusiawi lainnya.
Beliau memang manusia biasa yang mengalami sakit, membutuhkan makan dan minum, bahkan juga mengalami kelupaan. Namun, tidak boleh dilupakan status mulia beliau sebagai utusan Allâh Azza wa Jalla yang terpercaya, sehingga terjaga dari hal-hal buruk yang mengurangi amanahnya dalam menyampaikan risalah-Nya atau dalam ungkapan lain, sering disebut beliau itu ma’shûm.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, berdasarkan kesepakatan Ulama, para nabi shalawâtullâh wa salâmuhu ‘alaihim ma’shum (memperoleh pemeliharaan dari Allâh Azza wa Jalla ) dalam hal-hal yang mereka beritakan dari Allâh Azza wa Jalla dan dalam urusan menyampaikan risalah-risalah-Nya. Oleh karena itu, wajib mengimani seluruh yang diwahyukan kepada mereka”.[7]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menghidupkan dan mewafatkan kita di atas Sunnah Sayyidul anbiyâ` wal mursalîn, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallâhu waliyyut taufîq.
Maraji’:
1. Thâ’atu ar-Rasûl, Imam Ahmad bin Hanbal, Pengantar Syaikh Shalih al-Fauzan, Maktabah Imam Ibnul Qayyim al-‘Ammaah, Cet. I Th.1426H.
2. Ma’ârijul Qabûli bi Syarhi Sullamil Wushûli ilâ ‘Ilmil Ushûli fî at-Tauhîd, Syaikh Hâfizh al-Hakami (wafat 1377H), Dar Ibnul Jauzi, Cet. I Th.1420H. 3/1289-1290.
3. Huqûqun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘alâ Ummatihi fî Dhau`il Kitâbi was Sunnah, Prof. DR. Muhammad bin Khalîfah at-Tamîmi, Adhwâus Salaf, Cet. I, Th.1418H.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Thâ’atu ar-Rasûl hlm. 25-26.
[2]. Silahkan lihat Tafsir Ibnu Katsîr 7/76, al-Jalâlain hlm. 732.
[3]. Silahkan lihat Ma’ârijul Qabûli 3/1289-1290.
[4]. Tafsir Ibnu Katsîr 8/218.
[5]. Huqûqun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘alâ Ummatihi fî Dhau`il Kitâbi was Sunnah 1/130.
[6]. Tafsir Ibnu Katsîr 8/218.
[7]. Majmû’ al-Fatâwâ 10/289,290. Nukilan dari Huqûqun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘alâ Ummatihi fî Dhau`il Kitâbi was Sunnah 1/133.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4198-sang-penyampai-wahyu-shallallahu-alaihi-wa-sallam-yang-terjaga-dari-kesalahan.html